Cara Unik Masuk Kelenteng An Hien Bio Magetan
Sebelum mengamati suasana di dalam kelenteng, kami terlebih dahulu berbincang dengan Pudjianto di halaman kelenteng. Tiba-tiba salah seorang di antara kami, wartawan sebuah televisi lokal, masuk ke dalam kelenteng dan hendak mengambil gambar patung dewa atau dewi (Kiem Sin) di tempat ibadah penganut Kong Hu Cu itu.
Pudjianto pun terkejut. “La, salah satu temanmu masuk kelenteng, ya,” kata Pudjianto sembari melongok ke arah kelenteng. Pudjianto segera menghampiri wartawan tersebut dan mengingatkan bahwa sebelum masuk kelenteng dan mengambil gambar harus terlebih dahulu meminta izin dewa. “Saya mintakan izin dahulu, ya. Saya khawatir ada apa-apa kalau nggak izin,” tutur lelaki berusia 72 tahun itu dengan logat Jawa yang kental.
Pudjianto kemudian mengambil tiga batang hio (dupa) dan melakukan doa di depan patung Hok Tek Cin Sin atau Dewa Bumi yang jadi sesembahan di kelenteng. “Tunggu ya. Nanti ada cara tersendiri untuk tahu apakah diizinkan atau tidak,” ucapnya. Saat Pudjianto menjalankan ritual, kami menunggu di halaman.
Usai berdoa, Pudjianto mengajak kami masuk ke dalam kelenteng. Pudjianto menunjukkan cara unik untuk mengetahui apakah dewa mengizinkan kami mengambil gambar. Pudjianto meraih dua buah alat dari kayu berbentuk seperti lambung terbelah. Pudjianto mengaku tak tahu nama alat tersebut. “Ini nanti saya lempar. Kalau salah satunya tengkurap dan lainnya tengadah berarti diizinkan,” tuturnya. Sebaliknya jika dua alat itu sama-sama tengkurap atau tengadah berarti sang dewa tidak berkenan diambil gambarnya.
Kami sempat tegang di tengah suasana hening kelenteng dan aroma hio yang menyengat. Pudjianto pun melempar dua alat itu dan salah satunya ternyata tengkurap. “Nah, berarti diizinkan. Silakan memotret dan mengambil gambar,” ucap Pudjianto. “Maaf, ya, Mbah. Tadi saya tidak minta izin lebih dahulu,” kata si wartawan televisi.
Kami pun lega dan mengambil gambar sambil bertanya sejarah kelenteng. Pudjianto tak tahu kapan kelenteng An Hien Bio didirikan. Namun sejak Pudjianto bermukim di Magetan pada 1965, kelenteng sudah ada dan dirawat orang tuanya. Kini hanya Pudjanto seorang diri yang bersembahyang di kelenteng. Anak-anaknya tak mengikuti ajaran Kong Hu Cu karena masuk agama lain.
Kelenteng An Hien Bio tampak sepi dan tak sesemarak kelenteng lain dalam merayakan Imlek. Atap kelenteng berupa genting sudah tampak kusam. Pintu dan pagarnya pun masih terbuat dari kayu.
Warga sekitar kelenteng, Ratno, juga mengaku sejak kecil kelenteng itu sudah ada. “Penjaganya baik dan membaur dengan masyarakat,” kata pemuda kelahiran 1978 itu.
Sumber : Tempo.co
Pudjianto pun terkejut. “La, salah satu temanmu masuk kelenteng, ya,” kata Pudjianto sembari melongok ke arah kelenteng. Pudjianto segera menghampiri wartawan tersebut dan mengingatkan bahwa sebelum masuk kelenteng dan mengambil gambar harus terlebih dahulu meminta izin dewa. “Saya mintakan izin dahulu, ya. Saya khawatir ada apa-apa kalau nggak izin,” tutur lelaki berusia 72 tahun itu dengan logat Jawa yang kental.
Pudjianto kemudian mengambil tiga batang hio (dupa) dan melakukan doa di depan patung Hok Tek Cin Sin atau Dewa Bumi yang jadi sesembahan di kelenteng. “Tunggu ya. Nanti ada cara tersendiri untuk tahu apakah diizinkan atau tidak,” ucapnya. Saat Pudjianto menjalankan ritual, kami menunggu di halaman.
Usai berdoa, Pudjianto mengajak kami masuk ke dalam kelenteng. Pudjianto menunjukkan cara unik untuk mengetahui apakah dewa mengizinkan kami mengambil gambar. Pudjianto meraih dua buah alat dari kayu berbentuk seperti lambung terbelah. Pudjianto mengaku tak tahu nama alat tersebut. “Ini nanti saya lempar. Kalau salah satunya tengkurap dan lainnya tengadah berarti diizinkan,” tuturnya. Sebaliknya jika dua alat itu sama-sama tengkurap atau tengadah berarti sang dewa tidak berkenan diambil gambarnya.
Kami sempat tegang di tengah suasana hening kelenteng dan aroma hio yang menyengat. Pudjianto pun melempar dua alat itu dan salah satunya ternyata tengkurap. “Nah, berarti diizinkan. Silakan memotret dan mengambil gambar,” ucap Pudjianto. “Maaf, ya, Mbah. Tadi saya tidak minta izin lebih dahulu,” kata si wartawan televisi.
Kami pun lega dan mengambil gambar sambil bertanya sejarah kelenteng. Pudjianto tak tahu kapan kelenteng An Hien Bio didirikan. Namun sejak Pudjianto bermukim di Magetan pada 1965, kelenteng sudah ada dan dirawat orang tuanya. Kini hanya Pudjanto seorang diri yang bersembahyang di kelenteng. Anak-anaknya tak mengikuti ajaran Kong Hu Cu karena masuk agama lain.
Kelenteng An Hien Bio tampak sepi dan tak sesemarak kelenteng lain dalam merayakan Imlek. Atap kelenteng berupa genting sudah tampak kusam. Pintu dan pagarnya pun masih terbuat dari kayu.
Warga sekitar kelenteng, Ratno, juga mengaku sejak kecil kelenteng itu sudah ada. “Penjaganya baik dan membaur dengan masyarakat,” kata pemuda kelahiran 1978 itu.
Sumber : Tempo.co
Tidak ada komentar