Tri Hariyanti : Jiwa Kreatif Mahasiswa
Tri Hariyanti, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Muhammadiyah Surakarta
Ken Titi Hapsari, wanita kelahiran Magetan, 27 Juli 1978, mampu bertahan di tengah cobaan ekonomi yang ia terima. Ia berharap bisa menjadi seorang guru setelah lulus dari perguruan tinggi dulu. Namun wanita yang akrab dipanggil Sari ini belum mampu mewujudkan keinginannya dan sekarang ia terpaksa menjadi cleaning service di sebuah universitas di Solo… (Tabloid Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta Pabelan Pos, edisi April 2012).
Petikan berita di atas perlu digarisbawahi semua kalangan, khususnya mahasiswa. Kita patut prihatin sebab pemerintah dan perguruan tinggi belum mampu mengatasi masalah krusial seperti ini. Perguruan tinggi seolah menjadi produsen pengangguran. Saya tidak bermaksud menjustifikasi semua perguruan tinggi di negeri ini. Bekal yang diberikan oleh perguruan tinggi kepada lulusannya belum merampungi masalah ”kehidupan” mahasiswa pascawisuda.
Solusi atas masalah inilah yang sekarang sedang gencar diperbincangkan. Berbagai solusi besar-kecil hadir secara ketat mendefinisikan cara penyelesaian yang dianggap mapan dan matang. Gagasan demi gagasan terurai. Namun, upaya yang dilakukan belum maksimal menurunkan angka pengangguran.
Pola Pikir
Mayoritas mahasiswa mendapat berbagai konsep kecemasan dalam diri selepas wisuda. Akan bekerja di bidang apa? Mendapat job apa? Bagaimana jika tidak mendapatkan pekerjaan? Tekanan yang hadir seakan memberi sinyal untuk menjejak keluar dari permasalahan pengangguran. Semua tekanan dan situasi memberikan gambaran atas apa yang terjadi sebagai acuan yang harus dihadapi. Bukan sebagai momok! Bahkan menyikapinya sebagai ketakutan!
Gunawan dkk dalam Menyulut Lahan Kering Perlawanan Gerakan Mahasiswa 1990-an (2009) menjelaskan bahwa kapitalisme Orde Baru (Orba) telah melahirkan kebutuhan kelas menengah profesional yang masif untuk diserap dalam pasar tenaga kerja terdidik dan terlatih yang sedang berkembang dan meluas. Kebutuhan ini telah menjadikan universitas, akademi, institut kejuruan sebagai orientasi baru bagi masyarakat untuk memperoleh pekerjaan dan meningkatkan status sosial-ekonomi mereka.
Argumentasi Priyadi dalam artikelnya di Mimbar Mahasiswa SOLOPOS (3/4/2012) dengan judul Asketisme dalam Masyarakat Korban kiranya terlalu berlebihan. Ia terlalu khawatir wirausaha menjadi jalan membentuk nalar kapitalisme mahasiswa. Persoalannya, apakah semua jalan wirausaha mahasiswa itu diakui sebagai jalan kapitalis, juga sebagai lakon pragmatis? Selain itu, apakah dengan wirausaha lantas semua manusia bakal menjauhkan diri dari sikap nonhumanis? Tentu jawabannya terletak pada personalitas manusia yang menjadi lakon entrepreneur, bukan jalan wirausaha yang dituduh sebagai jalan sesat yang menyesatkan.
Menjadi wirausaha adalah alternatif yang kreatif dalam mengatasi masalah pekerjaan dan pengangguran. Usaha dan bisnis yang dikelola tak akan bermasalah jika ”sehat” dan tidak merugikan orang lain. Misi dan visi utama mahasiswa berwirausaha adalah mendapat pengalaman dan pembelajaran, yakni percaya diri, ketekunan, ketelitian dan kejujuran. Selain itu, mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi dengan mengambil pilihan yang terbaik. Dan yang tak kalah penting, berusaha ikhlas, tanggung jawab, prihatin dan solidaritas kemanusiaan. Jadi, bukan hanya uang dan keuntungan!
Jiwa Kreatif
Universitas, akademi dan institut kejuruan ada untuk mengonstruksi manusia-manusia pembelajar yang kreatif. Ungkapan kearifan ini penting disampaikan sebagai pembuka tujuan lembaga pendidikan yang jelas. Kreativitas yang jelas bakal melahirkan sesuatu yang berguna bagi diri sendiri maupun khalayak ramai. Melalui wirausaha mahasiswa ditantang untuk memunculkan solusi beragam persoalan. Kerja intelektual, spiritual, sosial, dan mental diuji dalam hal ini. Kerja inilah yang melahirkan kaum intelektual menjadi berpikir kritis, bukan pragmatis!
Meminjam istilah Daniel Goleman dalam Emotional Intellegent (2001) ini adalah wujud kecerdasan emosi. Sedangkan Ari Ginanjar Agustian (ESQ Ways, 2006) menyebutnya sebagai kecerdasan spiritual. Dua kecerdasan inilah yang membantu diri mahasiswa untuk mencapai keberhasilan selain kecerdasan intelektual yang dimiliki. Riset Goleman menyimpulkan peran IQ dalam keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua sesudah kecerdasan emosi dalam menentukan peraihan prestasi puncak dalam pekerjaan.
Kecerdasan emosional membantu kerja sosial para mahasiswa sehingga mampu bekerja baik sebagai individu maupun dalam kelompok, sedangkan kecerdasan spiritual sebagai intuisi kalbu dalam menerangi nalar mengatasi perbuatan yang dilarang agama. Wirausaha dengan demikian membangun dan membentuk mahasiswa menjadi jiwa pemikir dan penyemangat.
Akal tidak saja mengurusi masalah materi tetapi juga mampu mengurusi masalah-masalah sosial yang membutuhkan penanganan. Wirausaha yang dijalani bakal membuka peluang maupun ”kesempatan” untuk kemaslahatan bersama. Berwirausaha adalah membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain untuk menghimpun energi positif demi masa depan yang lebih baik.
Sumber : Solopos.com