Menapak Lawu bareng Kapolres Madiun Kota, Memikul Misi ‘Kampung Pesilat Adventure’
Merajut misi masa depan budaya Madiun,
sebagai kampung pesilat modern. Semangat itu seolah diwujudkan dengan
dicetuskannya gebrakan fenomenal Kapolres Madiun Kota AKBP Anom Wibowo. Selama
dua hari, sejak Jumat (22/11) dan Sabtu (23/11), pentolan korps seragam cokelat
ini, mengajak ratusan orang mendaki Gunung Lawu, setinggi 3265 meter dari
permukaan laut. Ikrar perdamaian pun diucap. Genggaman persahabatan terkepal.
***
***
PRABU Brawijaya V, sepertinya tersenyum sore itu, Jumat
(22/11). Raja terakhir Kerajaan Majapahit yang moksa di Gunung Lawu pada 1478 Masehi silam itu, disuguhkan
semangat ksatria dari pendekar-pendekar di Madiun sekitar. Semua semangat
tercurah sore itu. Pun, rona gempita, terpendar dari raut seorang Anom Wibowo,
kapolres Madiun Kota. ‘’Kita satukan tali persaudaraan dan kerukunan antarperguruan
(silat) di Madiun,’’ tegas Anom dengan semangat yang tergaris tegas di guratan
otot tangannya.
Lawu, tampaknya menjadi media bagi Anom untuk
merealisasikan mimpi besarnya: meneguhkan budaya Madiun sebagai kampung
pesilat. Itulah sebabnya, jebolan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1994 ini,
membikin gawe besar dan fenomenal: mendaki Gunung Lawu secara massal. Semangat
Prabu Brawijaya V, menginspirasi dirinya, untuk menanamkan semangat ksatria
berbalut persaudaraan, bagi seluruh pesertanya.
Sedikitnya, 200an nama tercatat sebagai
peserta. Mereka adalah pendekar dari berbagai perguruan silat di Madiun. Plus,
sejumlah kalangan jurnalis lokal, maupun nasional. Jumlah itu pun, masih
ditambah sekitar seratusan personil Polres Madiun Kota. Termasuk, jajaran Kodim
0803 Madiun. Apalagi, saat itu, Letkol Inf Tamba Tua Panjaitan, sang komandan
Kodim, juga hadir saat prosesi pemberangkatan. Semuanya dibekali seragam yang
sama. Berwarna kuning, dengan sablon di belakang bertulis ‘Madiun Kampung
Pesilat’.
Jalur Cemoro Sewu, ditetapkan sebagai gerbang
masuk, pada Jumat (22/11) sore itu. Sebelumnya, semua peserta diberangkatkan bareng-bareng dari halaman Mapolres Madiun
Kota, sekitar pukul 14.00 WIB. Perjalanan sekitar dua jam, semua peserta
seperti dihadapkan pada ‘dua’ kondisi cuaca. Bagaimana Madiun yang saat itu cukup
terik, kemudian bersama membelah hawa dingin ketika rombongan memasuki area Cemoro
Sewu.
Semua peserta, dibagi merata di tujuh kelompok.
Tiap kelompok, berisi sekitar 15 hingga 20 orang. Terdistribusi merata, dari
unsur pendekar lintasperguruan, jurnalis dan personil TNI serta Polri. Saya, beritamagetan.com, berada di Kelompok 4.
‘’Selama di atas (gunung), jangan sombong. Tidak boleh berkata kotor. Dan
jangan membawa pakaian atau unsur berwarna ijo
pupus,’’ pesan Harto Giman, sesepuh Cemoro Sewu, kepada seluruh peserta.
Rombongan pun bergerak, sekitar pukul 16.00
WIB. Bendera start kotak-kotak dikibarkan. Seluruh rombongan dilepas Kapolresta
Anom Wibowo, Dandim 0803 Tamba Tua, Pimpinan Perum Perhutani KPH Lawu Ds dan
Pimpinan Bank Jatim.
Semua ego tersisih. Yang ada hanyalah bekal semangat dan keyakinan untuk sampai di puncak gunung yang kondang akan cerita mistisnya itu. Medan bercampur tanjakan ditapaki. Keringat perlahan mulai tercucur. Menyatu dengan hawa dingin kaki Lawu. Napas ngos-ngosan, membahana mengiringi setiap langkah perjalanan para pendaki.
Semua ego tersisih. Yang ada hanyalah bekal semangat dan keyakinan untuk sampai di puncak gunung yang kondang akan cerita mistisnya itu. Medan bercampur tanjakan ditapaki. Keringat perlahan mulai tercucur. Menyatu dengan hawa dingin kaki Lawu. Napas ngos-ngosan, membahana mengiringi setiap langkah perjalanan para pendaki.
Di tengah perjalanan, sebelum sampai di Pos
1, Kapolresta Anom Wibowo mengajakserta rombongan berhenti sejenak. Tepatnya di
tengah hamparan ladang datar, dilakukan penanaman bibit pohon. Topi berlogo Bhayangkara
kuning, tanda simbol perwira milik Anom tersibak. Pengayom masyarakat nomor
satu di Kota Madiun ini memegang cangkul, dan menanam bibit yang di sampingnya terdapat
patok bertuliskan ‘Kapolres Madiun Kota’. Penanaman itu juga dilakukan secara
simbolis, mewakili sebelas perguruan silat di Madiun. Tak berlama-lama di
lokasi itu, rombongan pun kembali bergerak, menuju tempat istirahat selanjutnya,
Pos 1.
Belum sampai di Pos 1, rombongan kembali
berhenti di sebuah gubuk, yang biasa disebut Pos Bayangan. Yang menarik di
sini, adanya sebuah sumber mata air pegunungan, yang masyarakat seringkali
menyebutnya Sumber Panguripan. ‘’Konon saya baca referensi, muka yang terbasuh
air ini, bisa awet muda,’’ ujar Aquino Akmal Hakim, salah seorang peserta yang
juga jurnalis asal Tangerang.
Secara bergiliran, sebagian peserta membasuh mukanya di sini. Hitung-hitung, untuk menyeka keringat yang mulai mengalir sebesar biji jagung. Sekitar pukul 18.00, Kelompok 4 memasuki Pos 1.
Secara bergiliran, sebagian peserta membasuh mukanya di sini. Hitung-hitung, untuk menyeka keringat yang mulai mengalir sebesar biji jagung. Sekitar pukul 18.00, Kelompok 4 memasuki Pos 1.
Di pos pertama yang biasa disebut Taman Sari
ini, Supar, 51, menyambut dengan suka cita. Dia adalah pria yang sudah tujuh
tahun, mengais rezeki dengan mendirikan warung di Taman Sari. ‘’Saya tidak
setiap hari buka. Hanya Jumat, Sabtu dan Minggu. Biasanya tiga hari itu, banyak
pendaki yang ke sini,’’ terang suami Lasmi ini.
Tak memakan waktu istirahat lama, perjalanan
berlanjut menuju Pos 2. Seluruh rombongan dihadapkan dengan trek menanjak dan
curam. Bahkan, tak sedikit peserta yang harus balik kanan. Alias kembali ke
bawah, lantaran kondisi fisiknya tak lagi mampu menggapai medan berikutnya.
Sekitar dua jam, kondisi jalan berbatu, dengan gelapnya malam dan hawa dingin,
dilalui. Hingga pada pukul 20.00, rombongan Saya sampai di Pos 2. Tak ada
istirahat lama di tempat yang biasa disebut Watu Gedek ini. Sebab, jalur yang
dilintasi, masih cukup jauh.
Butuh waktu sekitar 1,5 jam, untuk mencapai
Pos 3. Banyak peserta yang membuat api unggun di pos yang biasa disebut Watu
Kembar ini. Beberapa di antaranya memilih untuk tidur sejenak. Dingin yang
mencengkeram, sudah mulai terasa hingga tulang sumsum.
Saya bersama rombongan Kelompok 4, memutuskan
melanjutkan perjalanan. Sebab, menuju Pos 4, harus melewati jalur yang luar
biasa. Meski jarak dari Pos 3 menuju Pos 4 tidaklah terlalu jauh, tetapi banyak
orang menyebutnya sebagai ‘jalur galau’. Itu tak lepas dari kondisi medan menanjak
dengan tingkat kemiringan yang membuat kaki berat melangkah.
Meski telah melalui ‘jalur galau’, tiba di
Pos 4 atau Batu Kapur, sejumlah peserta tak banyak yang memilih beristirahat.
Sebab, misi untuk mencapai Pos 5 atau pos terakhir, sudah menggelora dalam
pikiran. Bercampur lelah yang tak bisa ditutupi dari raut muka para peserta.
Jalur pun mulai melandai. Hingga akhirnya, jelang
pukul 02.00 dini hari, Sendang Drajat pun tergapai. Saya, bersama beberapa
rombongan, memutuskan istirahat di tempat ini. Tepatnya di warung milik Mbok
Panut. Di samping warung ini, ada sebuah sumber mata air bernama Sendang
Drajat. ‘’Kalau berani mandi di sendang itu, konon akan dinaikkan derajatnya
oleh Yang Maha Kuasa,’’ terang Mbok Panut sembari menyeduh segelas teh panas.
Beberapa pendaki, termasuk Saya, memilih
beristirahat dengan ‘penghangat’ seadanya. Mulai berbalut kantong kresek,
karung goni, hingga jas hujan. Pukul 03.30, kami terbangun, dan melanjutkan
perjalanan. Lelah yang mendera, berusaha ditepis dengan semangat untuk menapaki
ketinggian 3265 meter DPL, Puncak Lawu!
Sejam perjalanan, tibalah di warung Mbok Yem,
kawasan yang disebut Hargo Dalem. Kapolresta Anom Wibowo, sudah menyambut
rombongan dengan senyum khasnya. Di tempat ‘artis’ Gunung Lawu ini (baca: Mbok
Yem), mayoritas peserta mengabadikan momen ‘paling dinanti’ dari pendaki gunung
kebanyakan: matahari terbit. Lukisan indah Sang Maha Pencipta, terpendar
melalui sorot mentari yang terbit dari sisi timur, kira-kira dari atas Gunung
Wilis.
Bundaran indah mentari sudah mulai utuh dari
persemayamannya. Langkah pendaki dilanjutkan menuju tujuan terakhir, Hargo
Dumilah. Di sinilah, terpahat tulisan di sebuah tugu yang tak begitu tinggi,
bertuliskan: Puncak Lawu (Hargo Dumilah) 3265 DPL. Tak hanya mengabadikan diri
di titik tertinggi Gunung Lawu, di sini sejumlah pesilat juga mulai melakukan
pemanasan dan sedikit gerakan dasar. Seiring sorot hangat mentari pagi.
Sekitar sejam, rombongan berada di Hargo
Dumilah. Selanjutnya, seluruhnya turun. Kembali ke Hargo Dalem, tepatnya di
sebuah dataran depan warung Mbok Yem. Di tempat inilah, puncak acara ‘Kampung
Pesilat Adventure’ digelar. Ketua Umum Ikatan Keluarga Silat Putra Indonesia
(IKS-PI) Kera Sakti Bambang Sunaryo, mengawali acara dengan membaca Pernyataan
Bersama dari sebelas perguruan silat di Madiun.
‘’Kami pesilat Madiun, turut menjaga dan
menciptakan keamanan dan ketertiban serta kenyamanan. Di lingkungan masing-masing,
maupun di masyarakat. Sehingga terwujud kehidupan aman, tenteram dan damai,’’
ucap Bambang, mengawali pernyataan poin pertama, yang kemudian diucap berjamaah
seluruh pesilat.
Pada poin-poin berikutnya, tertulis bahwa
pesilat Madiun melaksanakan ajaran perguruan yang bersahabat dan mengayomi
masyarakat. Mengutakaman tolong menolong, dan guyub rukun. Termasuk, berperan
aktif menyukseskan pemilu legislatif serta pemilu presiden 2014. Di akhir
pernyataan, sebelumnya sudah ditandatangani seluruh ketua sebelas perguruan
silat di Madiun.
Kesebelas penandatangan itu adalah KRAT H
Tarmadji Boedi Harsono (Persaudaraan Setia Hati (PSH) Terate), Subandi (Tapak
Suci), Drs Agus Rijanto (SH Tuhu Tekad), Syaiful Anwar, B.Sc (Betako Merpati
Putih) dan H.R Agus Wijono Santoso, S.Sos (PSH Tunas Muda Winongo). Juga
ditandatangani Ir Didik Supriyadi (IKS Pro Patria Pusat), NR Anang Kusuma, SKM,
M.Si (Ki Ageng Pandan Alas), Drs Bambang Sunaryo, MM (IKS Kera Sakti Pusat), R.M
Hary Soemardiantho (Persaudaraan Rasa Tunggal), R Ispurwanto (OCC Pangastuti)
serta Surono, SE (Persinas Asad).
Usai berikrar, seluruh pendekar yang berhasil
mencapai puncak Lawu, memamerkan jurus-jurus silat dengan berbagai kembangannya.
Mereka adalah pendekar dari PSH Terate, PSH Tunas Muda Winongo, IKS Pro Patria,
Ki Ageng Pandan Alas, IKS Kera Sakti, dan Persinas Asad. Di sekelilingnya, pendekar
lain melingkar. Memegang panji-panji kebesaran perguruan masing-masing. ‘’Kami
setuju kalau Madiun dikatakan kampung pesilat,’’ ucap Noval, salah seorang
pendekar PSH Tunas Muda Winongo.
Pernyataannya itu, kata dia, diperkuat dengan
banyaknya pusat-pusat perguruan silat di Madiun. Namun, jika masih ada perselisihan
atau konflik antarperguruan, menurutnya, hal itu adalah kecenderungan
kekurangpahaman sesama warga atau pendekar. Yakni mengenai makna ajaran tiap
perguruan. ‘’Pada intinya, semua itu saudara,’’ terang Noval. ‘’Misi ke Lawu
ini menarik. Karena belum pernah ada kegiatan ini sebelumnya,’’ imbuh pemuda
yang dalam misi kali ini, berangkat bersama delapan rekannya dari PSH Tunas
Muda Winongo.
Pernyataan senada diamini sejumlah pendekar
dari IKS Pro Patria. Mereka berharap, tidak ada lagi tawuran antarteman maupun
antarperguruan. ‘’Kami menikmati kesempatan mendaki Gunung Lawu ini, bareng dulur-dulur pendekar di berbagai perguruan silat,’’ ucap sejumlah
pendekar IKS Pro Patria.
Tak hanya itu, Pernyataan Bersama yang diikrarkan
tersebut, membawa kesan mendalam bagi Heri Mulyono, salah seorang pendekar PSH
Terate. Kepada sejumlah media, pria yang akrab disapa Heri Sipon ini mengaku membawa
harapan besar, dari misi ‘Kampung Pesilat Adventure’ kali ini. ‘’Ada pesan mendalam
dari kegiatan ini. Bagaimana pesilat itu bisa cinta damai dan guyub rukun. Tidak
ada lagi perselisihan, dan semua harus optimistis jika persatuan akan lebih
indah,’’ terang Heri Sipon.
Memang, di atas gunung inilah, tampak sifat
sesungguhnya seorang manusia. Bagaimana sosok egois yang suka menang sendiri
terlihat. Sosok penakut yang banyak diam. Pengeluh yang seringkali mengeluh. Atau
pun yang bersahabat. Semua sifat tersebut, seolah wajib ditanggalkan, demi satu
tujuan, bersama-sama menggapai puncak dan menatap kebesaran Tuhan Yang Maha
Esa. Inilah, pesan yang ingin disampaikan Kapolresta Anom Wibowo, dengan
misinya ‘Kampung Pesilat Adventure’. ‘’Saya bersyukur ditugaskan di Madiun,’’
terang Anom Wibowo.
Menurut Anom, Madiun memiliki potensi sumberdaya
pencak silat yang besar. Apabila dikelola dengan baik, tentu bakal menjadi
kekuatan dalam aspek pembangunan sumberdaya manusianya. ‘’Karena mereka-mereka
ini memiliki iman dan takwa. Mereka memiliki semangat untuk membela yang lemah.
Sayang, kenyataannya, sampai saat ini, masih banyak sekali gesekan terjadi,’’
ucap mantan Kapolres KP3 Tanjung Perak Surabaya ini.
Bagi sudut pandang Anom, Madiun merupakan ‘the
real’ kampung pesilat. Sebab, ada belasan perguruan pencak silat Indonesia,
yang berpusat di Madiun. ‘’Tentu, tidak hanya sebagai kampung pesilat. Tetapi
juga kampung pendekar. Dan pendekar ini mempunyai nilai spiritual, fisik maupun
semangat yang luar biasa,’’ terang perwira kelahiran Jember, 12 Juni 1972 ini.
Seharusnya, lanjut dia, dengan watak pendekar
dan sifat ksatria itulah, perseteruan dan permusuhan, bisa dihindari. Dan
sebaliknya, berubah menjadi sifat saling menyayangi serta melindungi yang
lemah, dalam upaya menghadapi tantangan apa pun. ‘’Saya optimistis, Madiun ke
depan akan menjadi aman dan damai,’’ tegasnya.
Mengenai misinya mengajak ratusan peserta
untuk bareng-bareng menggapai puncak
Lawu ini, Anom mengaku dirinya berupaya membuat terobosan strategis. Sebab, dengan
kebersamaan untuk menggapai puncak, akan tertanam jiwa saling tolong menolong,
saling menghargai dan menjaga persaudaraan. Menanggalkan ego-ego pribadi maupun
golongan, dan berorientasi untuk menjaga keutuhan antarmasyarakat.
Seluruhnya demi satu misi, untuk bersama
menggapai puncak tertinggi, yakni masyarakat yang aman, tentram dan damai. Pengejawantahan
upaya tersebut, menurut Anom tersurat dalam semboyan para pesilat Madiun, yakni
Rukun Agawe Santoso, Sifate Satriyo Kang
Utomo.
Usai melakukan peragaan, dan seluruh jurnalis
berhasil mengabadikan momen-momen tersebut, Anom memimpin langsung tasyakuran alias
selamatan sederhana. Umumnya selamatan di kalangan masyarakat Madiun sekitar, ada
suguhan ayam goreng, nasi putih, pisang dan kerupuk. Makan bersama, menjadi
ajang bagi Anom, untuk menanamkan rasa saling berbagi, mengasihi dan menjaga
silaturahmi.
Kenyang menyantap hidangan selamatan, seluruh
peserta bersama-sama meninggalkan warung Mbok Yem di Hargo Dalem, untuk kembali
ke bawah, yakni Cemoro Sewu, Magetan. Dan selanjutnya kembali ke aktivitas
masing-masing. ‘’Saya juga ingin menikmati masa tua di bawah (rumahnya,
Kecamatan Poncol). Karena hampir 23 tahun, saya di sini, membantu para pendaki,’’
ucap Mbok Yem, sembari melepas pendaki yang berangsur turun gunung.
Sebelum perjalanan turun ke bawah, ada seutas
cerita yang Saya dapat di Hargo Dalem. Kelik, seorang warga asal Surakarta,
Jawa Tengah, yang mengaku sudah sepuluh tahun berada di Hargo Dalem,
mengisahkan pengetahuannya seputar mitos dan mistis Gunung Lawu. Menurut dia,
Gunung Lawu merupakan tempat yang tepat untuk mengasah semangat ksatria dan
jiwa persaudaraan. Adalah seorang Prabu Brawijaya V, raja terakhir Kerajaan Majapahit,
yang menjadikan jiwa itu muncul di Gunung Lawu. ‘’Menurut ceritanya, dulu Prabu
Brawijaya terkenal dengan sifat ksatrianya. Dan dia memilih mengasingkan diri
ke Gunung Lawu, untuk menghindari pengaruh-pengaruh duniawi,’’ ujar Kelik.
Memasrahkan diri kepada Yang Maha Pencipta, dengan
moksa di Gunung Lawu, adalah hal yang
dilakukan Brawijaya. Sebelum akhirnya Kerajaan Majapahit runtuh, dan digantikan
Kerajaan Demak, dengan masuknya Agama Islam di tanah Jawa. ‘’Meski tidak ada kaitannya
dengan berdirinya perguruan silat di Madiun, tapi semangat Prabu Brawijaya ini,
seperti tertular kepada masyarakat di sekitar Gunung Lawu. Semangat ksatria dan
selalu menjunjung tinggi nilai rohani dan persaudaraan,’’ tandas Kelik.
Selama perjalanan kembali ke bawah, saya
bersama sejumlah rombongan lain, seolah tak henti menikmati keindahan alam
semesta, ciptaan Sang Maha Kuasa. Sempat kami bertemu orang yang membawa bahan
makanan, untuk mengisi persediaan jualan Mbok Yem. Dengan semangat pantang
menyerah, mereka membawa barang tersebut, yang beratnya tentu tidak sebanding
dengan apa yang kami bawa. Semua tersirat penuh makna. Tak sedetik pun
terlewati, dari misi besar menjaga persaudaraan yang digagas Kapolres Madiun
Kota AKBP Anom Wibowo. (RUDIANTO/BERITA
MAGETAN)
Simak momen-momen penting aksi pendekar di atas puncak Lawu, hasil bidikan kamera beritamagetan.com di SINI
Saya saat bersama Kapolres Madiun Kota AKBP Anom Wibowo di ketinggian 3265 meter dari permukaan laut (Hargo Dumilah) puncak tertinggi Gunung Lawu
Simak momen-momen penting aksi pendekar di atas puncak Lawu, hasil bidikan kamera beritamagetan.com di SINI
Tidak ada komentar