Didik Sukasdi : 19 Tahun Kemudian...
Butuh waktu 19 tahun bagi Didik Sukasdi, untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi tanah kelahirannya, Parang, Kabupaten Magetan. Selama hampir dua dasawarsa, hasrat memajukan kampung halaman, ia pendam dalam-dalam.
“Saya benar-benar merinding berada di atas podium ini. Karena, saya butuh belasan tahun untuk kembali ke Parang. Jadi mohon maaf kalau baru sekarang saya bisa memberikan sesuatu untuk Parang,” kata Didik ketika me-launching internet berkecepatan tinggi di kantor Kecamatan Parang, akhir April lalu.
Sejak lulus kuliah di Universitas Brawijaya Malang, pada tahun 1986, dan mulai bekerja di PT Telkom, Didik sudah bertekad dan berjanji bahwa kelak harus memberikan sesuatu di tempat ia dilahirkan sang bunda.
“Yang terngiang di benak saya, kapan saya bisa pulang. Perasaan itu selalu muncul setiap pindah tugas. Sebagai prajurit, sudah lima belas tahun saya memajukan berbagai wilayah di pulau Sumatera.”
Prinsip pria alumnus SMP Negeri 1 Parang dan SMAN 1 Magetan itu, di mana dirinya ditugaskan, di situlah seluruh tenaga dan pikiran dicurahkan. “Namun, ingatan akan Parang itu selalu muncul. Saya selalu memantau dan mengamati perkembangan Parang dari jauh,” jelas Didik.
Sebagai pegawai Telkom, Didik kerap memantau perkembangan kota kelahirannya melalui telepon. Ia mengaku masih ingat betul ketika bertugas di pulau Sumatera sering mengontak keluarganya di Parang.
“Fasilitas telepon terdekat dengan rumah kami di Parang hanya ada di kantor kecamatan. Karena itu, saya paham dan sangat hapal letak dan telepon engkel (tombol putar) itu,” ucap dia yang mengaku sering meminta tolong pegawai kantor kecamatan untuk disambungkan dengan ibu atau bapaknya.
Didik mengaku juga sering diledek temannya perihal terisolirnya wilayah Kecamatan Parang di awal-awal dirinya bekerja di PT Telkom, 20 tahun silam. “Katanya, Dik… dulu surat panggilan Telkom itu bisa sampai ke Parang, bagaimana cerita?” tutur dia mengutip guyonan teman sekerjanya.
Dari situlah Didik merasa terpanggil dan meneguhkan hatinya bahwa suatu saat ia akan menjadikan Parang setara dengan daerah lain, terutama di bidang telekomunikasinya.
“Saya tidak rela sebagai warga yang lahir dan besar di Parang, kampung halaman saya tidak mengenal dunia luar. Sejak itulah, saya punya krentek (niat dan janji) untuk membangun Parang.”
Setelah 19 tahun melanglang negeri ini, Didik akhirnya bisa kembali ke pulau Jawa sebelum akhirnya dipercaya sebagai General Manager Access Regional V Jawa Timur. Saat itulah, niatan untuk membangun Parang semakin kuat.
Ia ingin membayar janji yang dipendam di hatinya. Didik pun mengecek fasilitas telepon di Parang. Ternyata, tanah kelahirannya masih menggunakan jaringan telekomunikasi radio. Teknologi dengan pemancar di Ngepeh ini termasuk uzur dan jadul.
Maka, dia pun ingin mengubah Parang dan memberikan teknologi M-SAN, suatu teknologi yang dipergunakan di kota besar, termasuk Tokyo, ibukota Jepang. “Dengan teknologi M-SAN ini, sekarang Parang sudah sama dengan Tokyo.”
“Saya benar-benar merinding berada di atas podium ini. Karena, saya butuh belasan tahun untuk kembali ke Parang. Jadi mohon maaf kalau baru sekarang saya bisa memberikan sesuatu untuk Parang,” kata Didik ketika me-launching internet berkecepatan tinggi di kantor Kecamatan Parang, akhir April lalu.
Sejak lulus kuliah di Universitas Brawijaya Malang, pada tahun 1986, dan mulai bekerja di PT Telkom, Didik sudah bertekad dan berjanji bahwa kelak harus memberikan sesuatu di tempat ia dilahirkan sang bunda.
“Yang terngiang di benak saya, kapan saya bisa pulang. Perasaan itu selalu muncul setiap pindah tugas. Sebagai prajurit, sudah lima belas tahun saya memajukan berbagai wilayah di pulau Sumatera.”
Prinsip pria alumnus SMP Negeri 1 Parang dan SMAN 1 Magetan itu, di mana dirinya ditugaskan, di situlah seluruh tenaga dan pikiran dicurahkan. “Namun, ingatan akan Parang itu selalu muncul. Saya selalu memantau dan mengamati perkembangan Parang dari jauh,” jelas Didik.
Sebagai pegawai Telkom, Didik kerap memantau perkembangan kota kelahirannya melalui telepon. Ia mengaku masih ingat betul ketika bertugas di pulau Sumatera sering mengontak keluarganya di Parang.
“Fasilitas telepon terdekat dengan rumah kami di Parang hanya ada di kantor kecamatan. Karena itu, saya paham dan sangat hapal letak dan telepon engkel (tombol putar) itu,” ucap dia yang mengaku sering meminta tolong pegawai kantor kecamatan untuk disambungkan dengan ibu atau bapaknya.
Didik mengaku juga sering diledek temannya perihal terisolirnya wilayah Kecamatan Parang di awal-awal dirinya bekerja di PT Telkom, 20 tahun silam. “Katanya, Dik… dulu surat panggilan Telkom itu bisa sampai ke Parang, bagaimana cerita?” tutur dia mengutip guyonan teman sekerjanya.
Dari situlah Didik merasa terpanggil dan meneguhkan hatinya bahwa suatu saat ia akan menjadikan Parang setara dengan daerah lain, terutama di bidang telekomunikasinya.
“Saya tidak rela sebagai warga yang lahir dan besar di Parang, kampung halaman saya tidak mengenal dunia luar. Sejak itulah, saya punya krentek (niat dan janji) untuk membangun Parang.”
Setelah 19 tahun melanglang negeri ini, Didik akhirnya bisa kembali ke pulau Jawa sebelum akhirnya dipercaya sebagai General Manager Access Regional V Jawa Timur. Saat itulah, niatan untuk membangun Parang semakin kuat.
Ia ingin membayar janji yang dipendam di hatinya. Didik pun mengecek fasilitas telepon di Parang. Ternyata, tanah kelahirannya masih menggunakan jaringan telekomunikasi radio. Teknologi dengan pemancar di Ngepeh ini termasuk uzur dan jadul.
Maka, dia pun ingin mengubah Parang dan memberikan teknologi M-SAN, suatu teknologi yang dipergunakan di kota besar, termasuk Tokyo, ibukota Jepang. “Dengan teknologi M-SAN ini, sekarang Parang sudah sama dengan Tokyo.”
Sumber : magetankita.com
Tidak ada komentar