Pawang Hujan Banjir Order, Klien pun Antre
Penyimpangan cuaca ternyata tak cuma merepotkan petani yang jadi kacau jadwal tanamnya. Mereka yang punya hajat atau acara di tempat terbuka dengan mendatangkan banyak orang, juga jadi ketar-ketir. Sebab, di musim kemarau seperti saat ini justru hujan kerap mengguyur. Pawang hujan pun jadi tumpuan.
Ada bermacam tata cara dan perlengkapan yang digunakan pawang hujan saat berpraktik untuk mengalihkan atau menyingkirkan hujan dari area tempat acara/hajatan. Tapi, pada umumnya, semua pawang hujan menjalankan satu hal yang sama sebelum mulai `bekerja`, yakni berpuasa. Ada yang puasa ngrowot, yakni hanya makan nasi dan buah selama 40 hari berturut-turut dan ada yang puasa biasa seperti yang dijalani kaum Muslim –dari sesaat sebelum subuh hingga usai maghrib.
Yang jelas, segala persiapan yang dilakukan sebelum menjalankan `tugas` pada hari-H acara adalah demi mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.
“Puasa itu dilakukan untuk mendekatkan diri pada Tuhan sekaligus menjaga kesucian niat dalam membantu mengalihkan hujan supaya upaya kita dikabulkan Tuhan,” kata Sutarto, 60, pawang hujan asal Tandes, Surabaya.
“Hujan itu adalah pemberian Allah dan kita tak bisa melawan kehendak-Nya. Kalau kita ingin mengalihkan atau menunda hujan, tentu harus memohon kepada si pemberi hujan, yaitu Allah,” terang seorang pawang di Benowo, Surabaya, yang biasa dipanggil Abah, saat ditemui terpisah.
Baik Mbah Tarto (demikian panggilan akrab Sutarto) dan Abah, 50, mengaku akhir-akhir ini mereka kebanjiran pesanan. Para klien atau peminta order berasal dari berbagai daerah di Jatim. Hanya, untuk Mbah Tarto, karena berbagai pertimbangan, ia memprioritaskan permintaan dari Surabaya dan sekitarnya.
Menurut Abah, belakangan ini sudah sekitar 50 orang datang ke rumahnya dengan tujuan meminta bantuan untuk mengamankan acaranya dari hujan. Saat Surya bertandang ke rumah Abah awal pekan ini, setidaknya ada enam orang yang antre di ruang depan rumahnya guna menunggu giliran dilayani.
Sedangkan Mbah Tarto mengaku menerima sekitar 40-an order. Pada 17 Oktober lalu, misalnya, seorang tokoh masyarakat di Sidoarjo meminta bantuan Mbah Tarto untuk `mengamankan` acara dari hujan karena sang tokoh menggelar tasyakuran pemberangkatan haji. Sebelumnya, pada 9 Oktober, panitia acara jalan sehat di Kota Surabaya juga memakainya dengan tujuan serupa.
“Terakhir beberapa hari lalu, kami diundang oleh panitia reuni keluarga besar seorang anggota DPR pusat,” ucap Mbah Tarto yang kerap dipakai pengurus Persebaya untuk mengamankan stadion dari hujan deras saat ada pertandingan sepak bola. Mbah Tarto mengaku telah menekuni perpawangan hujan sekitar 20 tahun.
“Harus diingat, manusia tak bisa menghentikan hujan yang diciptakan Allah. Yang saya lakukan hanyalah berusaha dengan memohon kepada Allah. Kalau selama ini lebih banyak berhasil, itu berarti sudah kersane (kehendak, red) Allah,” jelas Tarto yang istri dan anak tunggalnya sudah wafat beberapa tahun lalu.
Karena order banyak, dalam sehari, para pawang hujan bisa melayani beberapa tempat. Namun, jika waktu acara bersamaan, biasanya si pawang hanya berada di satu tempat acara saja, kemudian mengucapkan niat dan doa-doa untuk `dipancarkan` ke tempat-tempat acara yang lain. Jadi, niat dan doanya sama, yang membedakan hanya penyebutan nama pemilik acara yang diniatkan.
Menurut Suradi atau Mbah Dongkol, 50, permintaan order yang bersamaan waktunya sebetulnya lebih memudahkan pawang. Sebab, pawang cukup menjalani satu puasa yang sama.
“Beberapa waktu lalu, saya pernah melayani tiga tempat secara bersamaan dalam sehari,” kata Mbah Dongkol, pawang hujan yang tinggal di Dusun Gudel, Desa Sidoarjo, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo, kepada Surya.
Saat menjalankan `tugas`nya, Mbah Tarto hanya berbekal beberapa helai janur yang dipasang di tempat acara. Dua hari sebelum hari-H, ia akan mampir ke tempat acara untuk kulo nuwun atau mohon izin pada danyang atau makhluk gaib penunggu tempat acara.
“Setiap tempat itu ada danyang-nya. Saya akan tanya danyang, mereka mau apa. Biasanya minta kembang atau buah kelapa, dan akan disediakan,” terang Mbah Tarto.
Perlengkapan berbeda dibawa Mbah Dongkol. Pawang hujan yang kerap mendapat order dari wilayah Ponorogo, Madiun, Magetan, Ngawi dan Pacitan ini berbekal rumput grinting (rumput sawah) yang digelung, sebuah lidi kelapa, dan satu kendil (atau kuali) yang tidak pernah digunakan sama sekali, serta berpuasa sehari saat pelaksanaan hajatan.
Ketiga barang ritual itu ditempatkan di rumah pemilik hajatan dan harus tersembunyi. Jika sampai ketahuan orang, dan diambil atau dirusak, maka ada kemungkinan tugas pawang gagal.
“Kalau sampai ada yang mengambil barang-barang itu, maka bisa `bocor` atau terjadi hujan,” kata Mbah Dongkol yang sampai kini membujang. faiq nuraini/sudarmawan
Sumber : Surya.co.id
Sumber Ilustrasi Foto : Google.com
Tidak ada komentar