Sejarah Kabupaten Magetan Periode Tahun 1945-1966 (Orde Lama)
Pada tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang di seluruh dunia. Menandakan bangkitnya seluruh rakyat Indonesia mengusir segala kekuasaan asing dari Indonesia. Pada tanggal 18 Agustus 1945 lahirlah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai badan pemerintah segera dibentuk dan dilantik berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1945. Tentara Jepang yang pada saat itu masih memegang senjata lengkap, belum mau menyerahkan kekuasaan kepada bangsa Indonesia sekalipun mereka telah mendengar bahwa jepang telah menyerah kepada sekutu. Pada waktu itu Kabupaten Magetan dibawah pimpinan Bupati Kepala Daerah Dokter Sajidiman bersama dengan tokoh-tokoh masyarakat segera berusaha membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah Magetan. Maka pada tanggal 21 Agustus1945 terbentuklah Komite Nasional Indonesia Daerah Magetan dengan susunan, Ketua : Dokter Sajidiman, Bupati Kepala Daerah. Wakil Ketua : Moh. Wijono, yang anggotanya terdiri dari wakil dari instansi-instansi dan badan-badan sosial yang ada.
Menyusul kemudian pembentukan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang beranggotakan bekas Peta, Haiho, Knil dan para pemuda pada tanggal 20 Agustus 1945 bertempat di gedung Badan Pembantu Keluarga Korban Perjuangan (BPKKP), yang sekarang menjadi gedung Balai Pertemuan Mahendra Magetan. Susunan BKR Magetan adalah Ketua : Soetojo, Wakil : Lucas Kustarjo, sekretaris : Samsoeri, anggota staf : Soedijono Alimbi, Mangkoedimoeljo, Soemadi dan Bustami. Pelindung : Dokter Sajidiman dan Moh. Wijono. Komite Nasional Indonesia Daerah Magetan selanjutnya diubah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) sesuai instruksi dari pusat. Dengan susunan sebagai ketua : Dokter Sajidiman, wakil : Moh. Wijono, dan anggotanya : Koesman BID, Umardanus, Amir dan Joewono. BPRD dengan dipimpin oleh Bupati Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur urusan rumah tangga daerah.
Pada permulaan bulan September 1945 dengan didahului pembicaraan antara wakil tentara Jepang dan Republik Indonesia yang terdiri dari Bupati, Pimpinan BKR dengan diikuti beribu laskar BKR, dilakukan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang di asrama DVO (sekarang Dodik Sarmil). Pelucutan senjata berikutnya dilakukan terhadap tentara Jepang yang berada di benteng Durenan, pusat persenjataan dan pemancar radio Jepang, lapangan udara Maospati (sekarang Lanud Iswahyudi), di pabrik gula Purwodadi dan di pabrik gula Rejosari. Dengan selesainya pengambil-alihan kekuasaan Jepang, setahap demi setahap diadakan penyempurnaan aparat pemerintahan daerah baik di kota ataupun di luar kota. Hangatnya suasana serangan Inggris dan Gurka terhadap Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945, menjilat sampai Magetan. Usaha sosial dilakukan dalam bentuk menyediakan penginapan sementara dan menyediakan penampungan bagi keluarga orang-orang yang datang dari Surabaya. Disamping itu membentuk Badan Asrama Laskar Tetap dibawah pimpinan Moh. Wijono yang tugasnya mengurus pengiriman barisan ke front Surabaya.
Peristiwa Madiun 1948.
Kalau pada masa pendudukan tentara Jepang dilarang adanya organisasi politik, maka setelah kemerdekaan dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1945 dalam rangka menumbuhkan azas-azas demokrasi ditanah air maka lahirlah organisasi-organisasi politik baru. Pada masa perjuangan kemerdekaan, organisasi-organisasi perjuangan yang ada misalnya KNI, Laskar Rakyat, Pesindo, Hisbullah, BPRI dan lain-lain semuanya hanya bertekad mempertahankan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang berfalsafat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45. Tetapi dengan keluarnya Maklumat No. X tahun 1945, badan-badan perjuangan mulai cenderung berafiliasi kepada organisasi politik.
Hasil perundingan Linggarjati tanggal 15 Nopember 1946 menimbulkan sikap pro dan kontra bagi golongan partai politik di Magetan. Pertentangan politik menjadi tajam antara partai politik pendukung pemerintah dan partai-partai politik pihak oposisi terutama dari PNI dan Masyumi. Pihak oposisi terhadap perjanjian Linggarjati membentuk Banteng Republik antara lain terdiri dari PNI dan Masyumi serta laskar yang berafiliasi antara lain BPRI (Badan Perjuangan Republik Indonesia). Dengan hadirnya Mr. Amir Syarifudin di Magetan disambut dengan rapat raksasa yang digerakkan oleh front Demokrasi Rakyat (FDR), pada waktu itu terjadilah perang plakat antara FDR dengan Banteng RI. Sejak saat itu atmosfer politik di Magetan semakin panas, ditambah lagi kedatangan Muso di Madiun yang disambut oleh puluhan massa komunis yang berpakaian hitam berikat kepala merah. Benar-benar merupakan demonstrasi yang menakutkan golongan di luar komunis. Golongan komunis mengadakan oposisi pada pemerintah. Di desa-desa selalu disibukkan dengan daulat-mendaulat, tuntutan soal bengkok, lumbung desa dan lain sebagainya. Perampokan timbul dimana-mana.
Pada tanggal 18 September 1948 meletuslah pemberontakan PKI Muso di Madiun. Pada malam harinya Magetan diserbu oleh PKI Muso dengan mengadakan penangkapan dan pembunuhan terhadap pimpinan pemerintah dan tokoh-tokoh lawan partainya. Antara lain yang tercatat sebagai korban keganasan PKI adalah Bupati kepala daerah : Soedibjo, Wakil ketua BPRD : Moh. Wijono, Patih Magetan : Soekardono, Kepala Polisi Magetan : Ismiadi beserta anggota kepolisian Magetan, Kepala Japen Magetan : Umardanus, Ketua PDR Magetan : Judikusumo, Komandan KDM Magetan : Kapten Imam Hadi, Komandan Depo Magetan : Kapten Soebirin, Kepala Pendidikan masyarakat Magetan : Sumardi, pegawai KUA Magetan : Kyai Samsoeri, pegawai Pengadilan negeri Magetan : Murti dan lain sebagainya. Selain itu gedung-gedung pemerintah diambil alih oleh PKI, diantaranya gedung Arentnest, pusat pendidikan militer akademi di Sarangan, gedung tempat para siswa latihan Opsir Polisi Militer (LOPM) di Sarangan, gedung-gedung pusat Akademi Angkatan Laut (bekas hotel lawu) di Sarangan. Selama kurang lebih seminggu PKI berkuasa di Magetan. Sementara itu pemerintah Indonesia yang pada waktu itu berada di Yogyakarta, menanggapi pemberontakan PKI Madiun dengan tegas. Pemerintah mengirimkan satuan dari divisi Siliwangi ke Madiun untuk menindak pemberontakan. Pada akhir September 1948 pasukan Siliwangi dibawah pimpinan Letkol Sadikin dan Mayor Achmad Wiranatakusumah sampai di Sarangan lewat Cemorosewu. Segera dimulai penangkapan terhadap orang-orang PKI, orang-orang yang ditawan PKI dibebaskan. Penyerangan pasukan Siliwangi diteruskan ke Plaosan, kemudian pasukan Siliwangi tidak langsung ke Magetan tetapi ke Madiun lewat Ngariboyo Goranggareng. Dan pada tanggal 26 September 1948 Magetan dapat direbut oleh TNI. Daerah-daerah yang telah dibebaskan dibentuk Pemerintahan Militer KODM (Komando Onder Distrik Militer) di tingkat Kecamatan dan KDM (Komando Distrik Militer) di tingkat Kabupaten.
Agresi Belanda
Persetujuan Linggarjati tanggal 19 Maret 1947 yang antara lain menyebutkan bahwa Belanda mengakui kekuasaan de fakto dari Republik Indonesia di Pulau Jawa, Madura dan Sumatra. Diartikan oleh Belanda bahwa sebelum Negara Indonesia Serikat terbentuk, Belanda yang berdaulat di Indonesia. Persetujuan Linggarjati dilanggar dengan terang-terangan oleh Belanda, dengan jalan mengadakan serangan sporadis disana-sini yang mengakibatkan melemahnya Republik Indonesia dan mulai membentuk negara boneka dimana-mana serta menjalankan politik devide et impera. Pada tanggal 19 Desember 1948 ibukota Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta diduduki oleh Belanda. Presiden, Wakil Presiden dan beberapa mentri dan pejabat negara ditawan dan diasingkan. Belanda mengira dengan cara ini Republik Indonesia akan berakhir. Tetapi perlawanan terhadap Belanda tidak berakhir, perang gerilya yang dipimpin panglima besar Sudirman terus dilakukan. Demikian pula di Magetan, TNI dan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) bersama-sama rakyat membuat rintangan jalan dengan cara menebang pohon untuk dirintangkan ditengah jalan, membuat lubang-lubang di jalan penting dan menghancurkan jembatan-jembatan. Gedung-gedung yang diperkirakan akan dapat digunakan sebagai markas Belanda dibumi hanguskan.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda menyerbu Magetan. Belanda masuk Magetan dari arah barat melalui Tawangmangu Jawa Tengah. Sekalipun jembatan besar di Cemorosewu telah dihancurkan oleh TRIP, tetapi dapat diperbaiki kembali oleh Belanda. Setelah 7 hari berada di Sarangan dan bermarkas di hotel Bergzinct, kemudian menuju ke Magetan. Di Plaosan pasukan Belanda dipecah manjadi dua jurusan yaitu lewat Pacalan dan nDele terus Nitikan. Pasukan kompeni yang lewat Pacalan menjumpai kesulitan, karena jembatan Gemah yang sudah dihancurkan dan mendapat perlawanan sengit dari TNI dan TRIP. Terjalin kerjasama yang kuat antara TNI dan rakyat, terbukti dengan dibuatnya dapur umum yang bertempat dirumah Kepala Desa Slagreng. Dari arah timur, Belanda datang lewat Madiun – Goranggareng – Sundul – Krajan – Ngariboyo. Sampai di Ngariboyo mendapat perlawanan dari TNI dibawah pimpinan Lettu Tatang Soetrisno. Dari arah sebelah utara Belanda datang dari jurusan Simo – Kendal – Panekan – Magetan. Samapi di kota, Belanda tidak melihat adanya kantor Kabupaten karena sebelumnya sudah dihancurkan oleh gerilyawan, dan Pemerintahan Magetan pindah ke luar kota Magetan. Bupati beserta staf hijrah ke dukuh Ngelang Baleasri kemudian ke dukuh Geger Sambirobyong. Disini Bupati Magetan Kodrat Samadikoen dengan staf termasuk Patih Soehardjo ditangkap Belanda waktu tengah malam.
Sekalipun pejabat-pejabat penting tertangkap Belanda, tetapi tidak melemahkan semangat perlawanan terhadap Belanda. Perang gerilya masih terus dilancarkan pasukan TNI dan rakyat. Pasukan Batalion Sukowati menyebar tenaganya menjadi pasukan-pasukan kecil untuk mengadakan perlawanan secara gerilya.Pemerintahan Militer (KDM) dibagi menjadi dua, yang pertama di selatan sungai Gandong dibawah pimpinan Mayor Soebiantoro dan satunya berada di utara sungai Gandong dibawah pimpinan Letkol Anwar Santosa. Dengan tertangkapnya Mayor Soebiantoro dan pindahnya Letkol Anwar Santosa dari Magetan maka KDM dipimpin oleh Lettu Soedijono. Pimpinan gerilya yang tidak terlupakan oleh masyarakat Magetan antara lain Letnan Paimin, Iskak dan Harjono. Pada awal Nopember 1949 pasukan Belanda yang ada di Parang disergap oleh kompi Letnan Soebandono, kompi Niti Hadisekar dan kompi Kresno yang mengakibatkan banyak korban di kedua belah pihak. Desa Sumberdodol kec. Panekan menjadi tempat berkumpulnya para pimpinan sipil dan militer. Antara lain Bupati Magetan dan Residen Madiun. Rumah Sakit Umum Magetan dipindahkan pula kesana. Pasukan Batalion TNI dibawah pimpinan Komandan Kompi Moch. Jasin pernah berada di desa Jabung.
Demikianlah selama Magetan diduduki Belanda, rakyat dan TNI saling bahu membahu melawan musuh. Pemerintahan Kabupaten yang berada di luar kota, demikian pula pemerintahan Kecamatan tetap berjalan dengan lancar sekalipun harus berpindah-pindah tempat menghindari incaran Belanda. Gerilyawan memblokade bahan makanan terutama beras dan telur dilarang dibawa masuk ke kota. Untuk memperlancar sirkulasi ekonomi dan perdagangan maka dikeluarkan uang kertas yang terkenal dengan nama uang check. Belanda makin terdesak dimana-mana, di kota-kota Belanda tidak merasa aman. Belanda tidak dapat bergerak secara leluasa karena pasukan gerilya dapat menyerang sewaktu-waktu. Serangan paling berani yang dilakukan besar-besaran adalah pada tanggal 1 Maret 1949 ke dalam kota Yogyakarta dan berhasil mendudukinya selama 6 jam oleh TNI. Akhirnya Belanda terpaksa mengambil langkah menuju meja perundingan dengan pihak Indonesia. Tanggal 14 April 1949 diadakan perundingan. Delegasi RI dipimpin oleh Mr. Mohammad Rum sedang Belanda dipimpin oleh Dr. Van Royen. Hasil perundingan antara lain diadakan penghentian tembak menembak dan pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta. Kemudian disusul konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 23 Agustus sampai 2 Nopember 1949. Delegasi RI dipimpin oleh Dr. Moh. Hatta. Keputusan meja bundar berisi bahwa Belanda mengakui kedaulatan RI sepenuhnya tanpa sarat kecuali Irian Barat. Di Magetan perundingan antara Belanda dan RI berlangsung di Desa Cepoko kecamatan Panekan, perwakilan RI dipimpin oleh Letnan Soebandono. Pada tanggal 26 Oktober 1949 tentara belanda meninggalkan kota Magetan dan pada tanggal 1 Januari 1950 pemerintahan yang berada di pedalaman kembali ke dalam kota.
Setelah kurang lebih dua bulan Kepala Pemerintahan Magetan dijabat saat itu oleh Kodrat Samadikun. Pada pertengahan Pebruari 1949 Bapak Kodrat Samadikun ditangkap oleh Belanda di desa Sambirobyong dan kemudian Belanda mendirikan pemerintahan federal di Magetan tetapi ruang geraknya hanya terbatas di kota Magetan dan Maospati saja. Dengan adanya penangkapan ini Pemerintah Kab. Magetan terjadi kevakuman terlebih lagi setelah tanggal 21 April 1949, Mayor Subiyantoro selaku komandan KDM bersama para staf ditangkap juga oleh Belanda. Dengan adanya kevakuman itu maka Komandan STM (Sub Teritorium Militer) Madiun yang saat itu dipimpin oleh Letkol Marjadi pada tanggal 25 April 1949 menunjuk Lettu Sudijono sebagai komandan KDM dan beberapa perwira lainnya sebagai staf yang semuanya berasal dari Batalion Yudo. Pada saat itu mulailah Komandan KDM Lettu Sudijono menyusun kembali Pemerintahan Darurat Sipil RI dengan memerintahkan saudara R. Ismail, Soewarno dan Suwito yang masih berada di kota Magetan untuk menghadap ke markas. Setelah menghadap, pada tanggal 23 Mei 1949, kepada mereka diberi tugas sebagai berikut : M. Doellah sebagai Sekretaris Kabupaten, R. Ismail sebagai Asisten Wedono di Kab. Magetan, Soewarno dan Soewito sebagai staf. Tugas utama adalah menyusun kembali Pemerintahan Sipil dan kemudian tersusunlah Pemerintahan Sipil sbb :
- M. Ilham sebagai Wakil Bupati
- M. Doellah sebagai Sekretaris
- R. Ismail sebagai Ass. Wedono
- M. Prawoto sebagai Kepala PDK
- Soewandi sebagai Kepala Japen
- Soemardi sebagai Ka Din Perindustrian
- Sarbini sebagai Camat Magetan
- Moestajab sebagai Camat Panekan
- Harsono sebagai Camat Plaosan
- Hardjosoewignjo sebagai Mantri Polisi
- Saekon sebagai A W Parang
- Ledoeng sebagai A W Lembeyan
- Sanoesi sebagai A W Kawedanan
- Imam Soefaat sebagai A W Bendo
- Sarman sebagai A W Takeran
- Benoe sebagai A W Maospati
- Koesoemo Hadiprodjo sebagai A W Karangrejo
- R. Abdollah sebagai A W Karangmojo
- Soerat sebagai A W Sukomoro
- Koesman sebagai A W Poncol
Dan semua dapat berhasil jika didukung oleh :
- Dukungan penuh dari rakyat
- Kerjasama yang erat antara sesama instansi terutama antara sipil dan militer, pemerintah dengan rakyat
- Jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan serta gotong-royong yang tinggi
- Kejujuran, keuletan daya juang yang tinggi dari para petugas Negara RI
Sehingga lahir semboyan :
- Lebih baik hancur lebur dari pada dijajah kembali
- Merdeka atau mati
- Jer Basuki Mawa Bea
- Rawe-rawe rantas malang-malang putung
Sebuah peristiwa yang perlu dicatat ialah pada saat akan diadakan ulan tahun kemerdekaan RI yang ke IV, guna melumpuhkan pemerintah Federal di kota oleh Komandan KDM dikeluarkan instruksi agar para pegawai yang berada di kota Magetan semua keluar karena kota Magetan akan digempur. Instruksi tersebut ditaati oleh para pegawai Federal dan mereka keluar menggabungkan diri pada pemerintah RI. Untuk menjamin kelangsungan hidup aparat pemerintah RI dan untuk mengelola jalannya pemerintahan maka pemerintah mengadakan pungutan-pungutan yang berupa pajak innatura, retribusi pasar, dana atas ijin perusahaan yang dapat dipertanggung jawabkan. Pada saat KDM membutuhkan keuangan maka kebutuhan tersebut dicukupi oleh KDM yang memiliki persediaan cukup. Dengan mengikuti taktik dan strategi militer yang ditentukan oleh KDM maka kantor Pemerintahan RI Kab. Magetan selalu berpindah-pindah tempat, seperti :
- Dari Gemawang ke Bogang desa Ngunut
- Dari Bogang ke Blimbing desa Ngunut
- Dari Blimbing ke Wadung Parang
- Dari Wadung ke Ngariboyo Kec. Magetan pada akhir Oktober 1949
Masa Sebelum Orde Baru
Sejak tahun 1950 smpai tahun 1955 usaha pembangunan yang dilakukan pemerintah Kabupaten Magetan di dalam usaha mengisi cita-cita kemerdekaan tidak banyak dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh situasi negara yang sedang menghadapi gangguan keamanan. Gangguan yang merintangi pembangunan di negara ini antara lain seperti gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) dibawah pimpinan Westerling yang meletus di Bandung tahun 1950, gerakan RMS (Republik Maluku Selatan) dibawah pimpinan Soumokil, pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat dan lain-lain. Setelah pulihnya keamanan, Pemerintah Daerah Kab. Magetan maka sebagai Bupati ditunjuk M. Soehardjo dan sekretarisnya R. Soemardjo. Kantor Kabupaten yang bertempat di kantor Distrik Magetan (sekarang kantor Pembantu Bupati di jalan A. Yani No.88) dipindah dan dipecah menjadi dua yaitu kantor Otonom di desa Tambran (sekarang jl. Jendral Soedirman No. 2 Magetan) dan kantor Pamong Praja yang bertempat di desa Tambran pula. Sementara itu pemerintah pusat sudah memandang perlu untuk membentuk daerah-daerah Kabupaten yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri seperti dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1948 tentang pemerintah daerah. Dengan Undang-Undang No. 12 tahun 1950 tentang pembentukan daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Timur, di Propinsi Jawa Timur ditetapkan 29 Kabupaten termasuk Kabupaten Magetan.
Berdasarkan hasil sidang pleno BPRD (Badan Perwakilan Rakyat Daerah) tanggal 27 Desember 1950 keanggotaan Badan Eksekutif yang hanya tinggal dua orang dilengkapi lagi menjadi lima orang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1950 tentang Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRD-S), maka hasilnya di Magetan jumlah anggota 22 orang. Pembangunan di Magetan yang dapat dilaksanakan sejak tahun 1950 antara lain perbaikan jembatan dan gedung-gedung penting yang dibumi hanguskan pada saat agresi Belanda. Pasar kota Magetan selesai dibangun pada tahun 1951. Pada permulaan tahun 1952 dimulai pembangunan Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Magetan yang meliputi kantor Otonom, PUK, Kantor Pamong Praja, dilengkapi dengan ruang sidang DPRD, kantor Bupati Kepala Daerah dan kantor DPD.
Setelah peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965, Pemerintah Kabupaten Magetan segera melakukan penyuluhan dan penerangan kepada seluruh penduduk sampai ke pelosok desa. Ini bertujuan untuk menciptakan stabilitas dan rehabilitas pasca pemberontakan. Serta dalam usaha untuk merombak dan meninggalkan pola pikir yang lama diganti dengan pengamalan Pancasila. Dibidang stabilitas politik, keamanan dan ketertiban ternyata berjalan dengan baik. Sampai pada Pemilu tahun 1971 situasi Magetan sangat menggembirakan. Disamping itu hasil nyata bidang pembangunan dapat diwujudkan dengan baik karena tanpa adanya gangguan stabilitas keamanan.
Sumber : Magetankab.go.id
Tidak ada komentar